Kamis, 30 Juni 2011

Filter Rokok Sehat

Prof Sutiman, Penemu Filter Rokok Sehat
Asap Aman di Ruang Ber-AC dan bagi Perokok Pasif



Di tengah maraknya perdebatan soal bahaya merokok, kini muncul penemuan menarik tentang rokok sehat. Yakni karya Prof Sutiman Bambang Sumitro MS DSc, guru besar Universitas Brawijaya (UB), Malang. Dia dinilai berhasil menggemparkan dunia kesehatan. Seperti apa?

Di meja kerja Sutiman B Sumitro yang berlokasi di laboratorium FMIPA jurusan biologi lantai II UB (Universitas Brawijaya), terlihat tiga bungkus filter rokok. Per bungkus berisi sekitar 30 filter rokok. Filter-filter rokok itu dikemas dalam plastik transparan. Filter tersebut berdiameter sekitar 7 milimeter dengan panjang 2 Cm. Bungkusnya berukuran 7 x 9,5 Cm.


Plastik pembungkus itu tak dibuat polos, tapi ada tulisan yang mudah dibaca walau berukuran kecil. Di tengah plastik pembungkus terdapat lingkaran berdiameter 3 Cm yang bertulisan Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas Malang. Di bawahnya ada tulisan Filter Rokok Sehat dengan ukuran huruf sedikit lebih besar.

Dengan begitu, tulisan tersebut mudah terbaca ketika pandangan singgah ke pembungkus filter itu. Paling bawah, tertera alamat Jalan Surabaya No 5, Malang, lengkap dengan nomor telepon 0341-570631. Di bagian sudut kiri ada banderol Rp10 ribu.

Begitulah gambaran penemuan Sutiman tentang filter rokok sehat yang mengangkat tema "Inovasi Mereduksi Dampak Negatif Merokok dan Memperkuat Dampak Positif Merokok dalam Memperbaiki Kualitas Hidup."

Berdasar penelitian guru besar biologi sel dan molekuler UB itu, filter rokok ini disebut divine cigarette. Diamati sepintas, bentuknya mirip filter pada rokok. Warnanya juga sama, yakni putih. "Saya kadang memopulerkan penelitian saya dengan sebutan Nano Biologi Jawaban Kretek Sehat," ungkap Sutiman pada JPNN, Selasa (28/6).

Sebelum mengupas panjang lebar hasil penemuannya, pria kelahiran Jogjakarta, 11 Maret 1954, itu minta waktu untuk menyampaikan secara singkat asal-muasal ketertarikannya meneliti rokok. "Saya memang bukan perokok. Seorang peneliti justru harus mengabaikan unsur subjektivitas dan mengedepankan objektivitas," ungkap alumnus S-1 Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Dasar penelitian Sutiman terkait permasalahan bangsa yang dirasa menuntut penyelesaian dengan kearifan lokal. Salah satu yang disorot adalah masalah rokok. Banyak peneliti yang menyebut bahaya merokok. Di sisi lain, rokok sudah jadi sebuah industri besar. Di dalamnya melibatkan banyak unsur, yakni ekonomi, ribuan tenaga kerja, serta dampak lain yang perlu pemikiran bersama ketika industri ini berhenti.

"Pemikiran saya, terciptanya rokok kretek yang dibuat nenek moyang kita dulu bukan tanpa dasar. Rokok kretek dibuat untuk obat batuk," ungkap pria yang mengambil program doktor di Nagoya University, Jepang, tersebut.

Sayangnya, fakta ilmiah itu tak pernah diperhatikan pemerintah, terlebih oleh industri rokok kretek di Indonesia. Mereka tak memiliki hasil riset dan pengembangan produk yang memadai.

Padahal, ditinjau dari aset serta volume perdagangan rokok di Indonesia, riset seputar rokok sesungguhnya gampang direalisasikan. Seiring arus globalisasi, rokok kretek yang merupakan produk kearifan lokal itu dilanda isu sebagai produk tak sehat tanpa didukung data hasil riset memadai.

Ironisnya, isu rokok tak sehat berembus dari luar negeri serta dibangun melalui kegiatan riset asing. Sementara itu, potensi lokal kurang percaya diri untuk melakukan inovasi tentang rokok sehat. Apalagi, ide tentang rokok sehat terkesan menentang arus. "Muncul pemikiran saya untuk ikut mengkaji bahaya rokok. Apa memang sudah final asap rokok itu berbahaya?" ujarnya.

Ketertarikan Sutiman meneliti rokok dimulai pada 2007. Secara garis besar, prinsip yang dia lakukan kala itu adalah menghilangkan radikal bebas dari asap rokok. Selain itu, memodifikasi makro molekul yang terkandung dalam asap rokok lewat sentuhan teknologi dengan ukuran lebih kecil.

"Divine cigarette ini ada senyawanya, sehingga mampu menjinakkan radikal bebas. Tapi, senyawanya apa saja, itu yang masih dalam proses dipatenkan," ucap guru besar UB yang kini diperbantukan sebagai dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, tersebut.

Bagi perokok, penggunaan divine cigarette ini cukup mudah. Filter yang menempel di rokok diambil, selanjutnya diganti divine cigarette hasil penemuan Sutiman. Dengan begitu, divine cigarette menggantikan filter asli pada rokok. "Filter yang asli tinggal diambil dan diganti divine cigarette ini. Tak rumit," jelas dosen yang juga bertugas di program doktor pendidikan biologi UM (Universitas Negeri Malang) itu.

Dari beberapa responden yang menggunakan divine cigarette, didapat data sesuai tujuan penelitian. Di antaranya, merokok terasa lebih ringan. Bahkan, menghasilkan manfaat di luar yang dipikirkan. Di antaranya, saat merokok di ruang ber-AC, tak timbul kabut tebal dan tak meninggalkan bau di ruangan. Lebih dari itu, perokok pasif lebih aman ketika berdekatan dengan si perokok.

Hasil diskusi dengan rekannya sesama dosen UB, Yudi Arinto Ponco Wardoyo PhD yang mengambil disertasi soal asap, banyak mendukung penelitian Sutiman. "Saya sering berdiskusi dengan beliau (Yudi). Saya dapat banyak masukan untuk memecahkan bahaya kandungan asap rokok," ungkap dosen yang sudah melahirkan puluhan karya penelitian tersebut.

Menurut Sutiman, asap rokok berasal dari pembakaran tak sempurna yang menghasilkan ribuan komponen berbahaya. Dari komponen ini, berhasil ditemukan sekitar lima ribu komponen yang bisa diamati seperti aseton (cat kuku), toluidin (cat) metanol (spiritus bakar), polonium (bahan radioaktif), arsen (racun tikus), serta toluene (pelarut industri). "Hipotesis saya, radikal bebas dari asap rokok memang berbahaya. Tapi, komponen racun yang terkandung itu bisa diminimalisasi," tegas dosen yang memiliki bidang keahlian sel biologi tersebut.

Dia menyebutkan, hasil penelitian dalam bentuk divine cigarette ini merupakan fase-fase awal. Karena itu, Sutiman masih merancang penelitian lanjutan. Dua kajian yang sedang dilakukan adalah mengarakteristik jenis-jenis asap dan mengumpulkan data-data dari pengguna divine cigarette. Total ada 200 responden yang dilibatkan dalam penelitian tersebut.

Mengenai divine cigarette, Sutiman mengaku tanggapan masyarakat, terutama dari kalangan perokok, cukup banyak. Kendati belum diproduksi masal, setidaknya dalam sehari ada permintaan sekitar 30 pak divine cigarette. "Hasil penjualan itu digunakan untuk membiayai penelitian yang sudah saya rancang," katanya.

Demi uji coba divine cigarette, Sutiman mendirikan laboratorium swasta yang diberi nama Lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas di Malang. Labotarium sebagai tempat produksi ini juga digunakan untuk mengumpulkan kajian riset. "Saya memiliki donatur tetap yang bersifat individu untuk membiayai penelitian ini," jelas pria murah senyum tersebut.


Sumber: Filter Rokok Sehat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar